• baznaskota.banjarmasin@baznas.go.id
  • +62 811-5190-911

Sejarah & Profil

Profil

Sejarah & Profil

Terakhir diperbarui: 25 November 2025


Sejarah dan profil Baznas Kota Banjarmasin 

- Lokasi  
Kantor Sekretariat Bersama " Khatib Dayan " 
Jl. Lingkar Dalam Selatan Kel. Kelayan Timur, Kec. Banjarmasin Selatan

- Profil Baznas Kota Banjarmasin
1. BAZNAS Kota Banjarmasin merupakan organisasi yang resmi  dibentuk oleh pemerintah.  
2. Penyaluran dana ZIS tidak hanya bersifat konsumtif tetapi juga bersifat  produktif yang sesuai dengan tujuan dari zakat. 
3. Dapat memperkecil kesenjangan antara muzakki dengan mustahiq

 - Sebagai landasan operasional, payung hukum yang menjadi dasar pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat Kota  Banjarmasin adalah:  
A. Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat 
B.Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003 Tentang pelaksanaan  Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat 
c. Peraturan Daerah Kota Banjarmasin No. 31 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat. 
d. Keputusan Walikota Banjarmasin No. 167 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Pengurus Badan Amil Zakat Kota Banjarmasin 
e. Surat Keputusan Walikota No. 050 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Pelaksanaan/Petunjuk Tertulis Bagi Unit Pengumpulan Zakat Kota Banjarmasin Undang-Undang no. 23 tahun 2011 Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa pengelolaan zakat kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat.

- Sejarah Baznas Kota Banjarmasin
Sejak kedatangan Islam di Nusantara pada awal abad ke 7 M, kesadaran masyarakat Islam terhadap zakat pada waktu itu ternyata masih menganggap zakat tidak sepenting shalat dan puasa. Padahal walaupun tidak menjadi aktivitas prioritas, kolonial Belanda menganggap bahwa seluruh ajaran Islam termasuk zakat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Belanda kesulitan menjajah Indonesia khususnya di Aceh sebagai pintu masuk.  

Kebijakannya  Bijblad  Nomor 1892 tahun 1866 dan Bijblad 6200 tahun 1905 melarang petugas keagamaan, pegawai pemerintah dari kepala desa sampai bupati, termasuk priayi pribumi ikut serta dalam pengumpulan zakat, Peraturan tersebut mengakibatkan penduduk di beberapa tempat enggan mengeluarkan zakat atau tidak memberikannya kepada penghulu dan naib sebagai amil resmi waktu itu, melainkan kepada ahli agama yang dihormati, yaitu kiyai atau guru mengaji.

Pada saat yang sama masyarakat Aceh sendiri telah menggunakan sebagian dana zakat untuk membiayai perang dengan Belanda, sebagaimana Belanda membiayai perangnya dengan sebagian dana pajak. Sebagai gambaran, pengumpulan zakat di Aceh sudah dimulai pada masa Kerajaan Aceh, yakni pada masa Sultan Alaudin Riayat Syah (1539-1567). Pada Masa kerajaan Aceh penghimpunan zakat masih sangat sederhana dan hanya dihimpun pada waktu ramadhan saja yaitu zakat fitrah yang langsung diserahkan ke Meunasah (tempat ibadah seperti masjid).  

Pada waktu itu sudah didirikan Balai Baitul Maal tetapi tidak dijelaskan fungsi spesifik dalam mengelola zakat melainkan sebagai lembaga yang mengurus keuangan dan perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja.

Ketika terdapat tradisi zakat dikelola secara individual oleh umat Islam.  K.H. Ahmad Dahlan sebagai pemimpin Muhammadiyah mengambil langkah mengorganisir pengumpulan zakat di kalangan anggotanya. Menjelang kemerdekaan, praktek pengelolaan zakat juga pernah dilakukan oleh umat Islam ketika Majlis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), pada tahun 1943, membentuk Baitul Maal untuk mengorganisasikan pengelolaan zakat secara terkoordinasi. 

Dalam waktu singkat, Baitul Maal telah berhasil didirikan di 35 kabupaten dari 67 kabupaten yang ada di Jawa pada saat itu. Tetapi kemajuan ini menyebabkan Jepang khawatir akan munculnya gerakan anti-Jepang. Maka, pada 24 Oktober 1943, Jepang memaksa MIAI untuk membubarkan diri. Praktis sejak 
saat itu tidak ditemukan lagi lembaga pengelola zakat yang eksis. 

Perhatian Pemerintah terhadap pengelolaan zakat ditunjukkan dengan  menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan  Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No 5 Tahun 1968 tentang  Pembentukan Baitul Maal di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kotamadya. 

Keputusan tersebut dikuatkan oleh pernyataan Presiden Soeharto dalam acara Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw di Istana Negara 26 Oktober 1968 tentang kesediaan Presiden untuk mengurus pengumpulan zakat secara  besar-besaran.

Dengan latar belakang tanggapan atas pidato Presiden Soeharto 26 Oktober 1968, 11 orang alim ulama di ibukota yang dihadiri antara lain oleh Buya Hamka mengeluarkan rekomendasi perlunya membentuk lembaga zakat ditingkat wilayah yang kemudian direspon dengan pembentukan BAZIS DKI Jakarta melalui keputusan Gubernur Ali Sadikin No. Cb-14/8/18/68 tentang pembentukan  Badan Amil Zakat berdasarkan syariat Islam tanggal 5 Desember 1968.
Home Kalkulator Zakat
Donasi
Infaq Fidyah